Sabtu, 29 November 2008

ANALISA CALEG DAPEM SUMUT IX SIMALUNGUN-PEMATANGSIANTAR

Tinggal 130 hari lagi waktu Pemungutan Suara pada Pemilu 2009 akan dilaksanakan, dimana masyarakat pemilih akan menentukan mereka yang akan dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Untuk kursi DPRD Sumatera Utara (Sumut) dari Daerah Pemilihan (Dapem) Sumut 9 yaitu Kabupaten Simalungun – Kota Pematangsiantar, ada sejumlah 160 orang Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang akan memperebutkan hanya 8 kursi. Berarti peluang setiap caleg hanya 5% untuk merebut 1 kursi DPRD Sumut. Para caleg tersebut masing-masing berdomisili di Medan (50,62%), berdomisili di Kabupaten Simalungun (25%), berdomisili di Pematangsiantar (18.75%), berdomisili di Kabupaten Deli Serdang (4,37%) dan masing-masing 1 caleg (PBR dan PDK) berdomisili di Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Tobasa.

Beragam tanggapan dan sikap muncul dari masyarakat pemilih Simalungun-Pematangsiantar melihat dari segi komposisi domisili para caleg tersebut. Bagaimana logikanya dan bagaimana caranya menyuarakan aspirasi masyarakat daerah Simalungun-Pematangsiantar, jika caleg tersebut berdomisili di kabupaten/ kota lain yang letaknya sangat jauh dari Kabupaten Simalungun/Pematangsiantar, kemudian memberanikan diri untuk mencaleg dari daerah bukan domisilinya.
Inilah fakta yang harus dicermati oleh masyarakat pemilih dalam menentukan pilihannya nanti terhadap caleg-caleg yang memperebutkan 8 kursi DPRD Sumatera Utara (8% dari 100 kursi DPRD Sumut). Masyarakat pemilih daerah Simalungun-Pematangsiantar seyogianya harus lebih pintar dan lebih independen dalam menyeleksi dan menentukan pilihan nantinya terhadap caleg-caleg DPRD Sumut, dari faktor domisili caleg tersebut. Demikian juga masyarakat pemilih di daerah lainnya, amati dengan seksama terhadap caleg-caleg yang bukan berdomisili di daerah pemilihannya. Para caleg yang berdomisili di luar daerah pemilihannya sudah pasti jarang meninjau daerah tersebut dan jarang menampung aspirasi masyarakat pemilihnya, karena waktunya kebanyakan dihabiskan di domisilinya sekarang. Paling-paling mereka akan turun ke daerah pemilihannya setahun sekali pada waktu reses, itu juga jika mereka mau sempatkan untuk menyerap aspirasi masyarakat daerah pemilihannya (padahal dianggarkan oleh negara dengan memakai uang rakyat). Indikasinya mereka pakai dana tersebut untuk rekreasi ke daerah lain, bukan menampung aspirasi masyarakat ke daerah pemilihannya.

Kemudian jumlah caleg yang disodorkan oleh parpol sangat bervariasi, dimana untuk parpol yang sudah mapan rata-rata menampilkan quota 120% dari jumlah kursi di dapemnya. Sementara partai yang belum siap, hanya menampilkan 1-3 orang caleg di dapemnya. Dengan banyaknya parpol dan terbatasnya kesediaan masyarakat untuk memajukan diri jadi caleg, tentu menyebabkan ada beberapa parpol yang susah merekrut caleg. Ada kesan parpol tersebut sekedar menampilkan nama caleg agar tidak terlihat kosong. Bahkan 3 parpol (PM, PNUI, PSI) tidak mampu merekrut satu orangpun dari sekian juta orang yang berusia di atas 21 tahun di Sumut atau dari sekitar 650 ribu orang di Simalungun-Pematangsiantar, dalam mencantumkan nama caleg untuk DPRD Sumut. Ada sejumlah caleg yang sudah bertarung di Pemilu 2004, akan tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan muka-muka baru yang akan bertarung dalam Pemilu 2009. Walaupun jumlahnya sedikit, akan tetapi ada sejumlah caleg tersebut yang merupakan caleg potensial pengumpul suara banyak.
Akan tetapi patut kita sikapi juga terhadap 9 parpol yang mencantumkan banyak calegnya (mendekati atau sama dengan kuota 120%, antara 7-9 caleg). Teliti masing-masing caleg tersebut, apakah berkualitas dan berintegritas. Misalnya ada parpol melalui pengurus propinsinya, diduga merekrut calegnya dengan sembarangan, bahkan pengurus kabupaten/kota parpol tersebut tidak mengenal mereka akibat sikap arogansi pejabat parpol propinsi yang tidak mau mendengar aspirasi pengurus dan anggota parpol kabupaten/kota. Inilah yang disebut caleg instant, caleg yang tiba-tiba dicantumkan sebagai caleg propinsi, caleg yang tiba-tiba mendapat Kartu Tanda Anggota (KTA) karena mencaleg dan atas perintah dari pengurus parpol propinsi, caleg yang muncul tanpa pendekatan dan pengenalan kepada pengurus kabupaten/kota, dan caleg tanpa masa pengabdian yang lama di dalam organisasi parpol.

Perekrutan caleg yang sembarangan ini terjadi karena oknum pengurus parpol propinsi yang bertanggungjawab dalam mencantumkan nama caleg-caleg tersebut diduga bertindak tanpa akal sehat dan tanpa hati nurani yang baik. Kemungkinannya juga dikarenakan pengurus parpol propinsi tersebut tidak mendapat dukungan dari pengurus kabupaten/kota parpol sehingga bertindak asal cantumkan nama-nama dalam menentukan caleg-caleg propinsi. Atau juga karena yang bersangkutan sudah tidak diterima lagi oleh masyarakat tempat daerah pemilihannya pada waktu Pemilu 2004 dan sudah tidak diterima lagi oleh anggota parpol tersebut di daerah pemilihan 9 Sumut sehingga bertindak gegabah dalam menentukan caleg propinsi. Akan tetapi walaupun demikian caleg tersebut tetap memaksakan diri dengan sikap arogansinya dan tanpa mempunyai etika yang baik dalam berorganisasi untuk tetap mencalonkan diri sebagai caleg propinsi, bersama-sama dengan 6 anggota caleg ”votegetter”nya.
Jika diteliti dengan seksama satu per satu caleg-caleg yang dicantumkan oleh parpol untuk bertarung di tingkat DPRD Sumut, akan terlihat jelas bahwa banyak di antara caleg tersebut tidak mengerti AD/ART parpol tersebut. Banyak yang tidak mengerti apa itu fungsi lembaga DPRD, bahkan apa itu Pemilu dengan tahapan-tahapannya. Ikut sosialisasi sana-sini tanpa tidak mengetahui dengan jelas apa visi-misinya, ikut rapat-rapat intern parpol hanya untuk mendengar saja dan sekedar jual tampang saja. Banyak di antara para caleg yang hanya, menurut bahasa gaulnya, numpang nampang doank..
Wahai para caleg, harus diingat bahwa masyarakat pemilih tidak bodoh dan masyarakat pemilih tidak mau dibodoh-bodohi oleh caleg dari parpol seperti ini. Sudah tamat masanya bagi parpol yang dengan sengaja membohongi dan membodoh-bodohi masyarakat dengan iming-iming sembako dan kata-kata manis yang menjanjikan serta menampilkan caleg-caleg yang hanya numpang nampang doank.. Masyarakat pemilih saat ini bertekad menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada kompromi soal caleg yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas. Masyarakat pemilih saat ini menyatakan dengan tegas bahwa tidak akan ada tempat dan tidak akan disediakan tempat di DPRD Propinsi bagi caleg-caleg yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas. Tidak ada kursi DPRD Propinsi bagi caleg-caleg yang menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi ambisi pribadinya.

Dari Daftar Calon Tetap (DCT), ada 1 orang mantan Bupati, 8 orang anggota DPRD Simalungun/Pematangsiantar, ada 5 orang masih sebagai anggota DPRD Sumatera Utara, dan selebihnya merupakan muka-muka baru. Hanya sedikit Pengurus Parpol yang merekrut para caleg sesuai dengan kriteria kaderisasi, selebihnya pengurus parpol propinsi diduga menentukan jumlah dan nomor urut rendah caleg berdasarkan ketersediaan sumber dana pembiayaan sosialisasi dari caleg tersebut, berdasarkan ikatan kekeluargaan serta keterikatan yang “tersembunyi” antara pengurus parpol propinsi dengan caleg bernomor urut rendah tersebut. Pencantumkan caleg bukan berdasarkan kriteria diterima atau tidak caleg tersebut di masyarakat daerah pemilihan melalui polling atau jajak pendapat, bukan pula berdasarkan kualitas dan integritas caleg.
Bagaimana masyarakat pemilih menyikapi caleg-caleg yang sekarang duduk sebagai anggota DPRD Sumut dan anggota DPRD Simalungun/ Pematangsiantar, serta mantan KDH? Masyarakat dihimbau secara aktif mencari informasi ”track record” mereka selama menjabat dan pahami soal kinerja mereka terhadap pembangunan daerah Simalungun-Pematangsiantar selama ini. Masyarakat dapat menghubungi para kawan wartawan atau LSM yang masih mempunyai idealisme tinggi dan kepada narasumber yang tidak mempunyai ”interest” apapun dengan para caleg. Pencarian informasi ini penting sebagai dasar masyarakat pemilih melakukan seleksi terhadap para caleg.
Hanya sedikit anggota DPRD yang mampu dan sering bersuara di lembaga DPRD selama ini, hanya sedikit yang sering dengan gigih menyuarakan aspirasi masyarakat dan hanya sedikit anggota DPRD yang mampu berdialog dan mampu menganalisa permasalahan dengan aparat Pemerintah Daerah. Sebagian besar anggota DPRD hanya melakoni D5 : datang, duduk, diam, dengar, duit. Cermati juga sepak-terjang para caleg yang selama menjabat atau selama orangtuanya menjabat, apakah mereka terindikasi dengan tindakan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) atau terindikasi hanya sekedar memperkaya diri dengan mengumpulkan ”kewajiban-kewajiban” dari pelaksana pekerjaan di pemerintah daerah? Percayalah, jika anda memilih mereka kembali, tindakan serupa akan dilakukan oleh para caleg tersebut pada masa periode 2009-2014.
Masyarakat pemilih harus cermati juga para komentar atau pernyataan para caleg yang sering muncul di media cetak. Cermati apa esensi atau maksud yang termuat dalam berita mereka, apa yang mereka kemukakan, apakah bermanfaat tidak bagi kepentingan masyarakat. Ada fenomena yang menarik saat ini, banyak caleg yang muncul di koran hanya asbun (asal bunyi), hanya ”lips service” belaka, hanya untuk tingkatkan rating populernya, hanya untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah daerah atau ujung-ujungnya ”mengais” dana dari pejabat yang dibelanya atau ditakut-takutinya. Kata orang, tidak jelas ”juntrungan”-nya dalam membela dan menyuarakan aspirasi masyarakat; akan tapi jelas arahnya, ”menderes” dana dari pejabat yang dibelanya atau ditakut-takutinya.
Cermati juga tingkah laku kemunafikan anggota DPRD yang sepertinya ”rajin” ke tempat-tempat maksiat di luar domisili wilayahnya seperti Jakarta, tetapi tanpa ragu-ragu dan tanpa malu-malu kepada masyarakat dan tanpa merasa berdosa terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan berani menyatakan dan berunjukdiri kepada masyarakat bahwa dia pengurus inti suatu lembaga keagamaan. Masyarakat pemilih harus tegas dan tidak kenal kompromi kepada caleg-caleg yang demikian karena jika nanti dipilih kembali, mereka akan melakukan hal yang sama yaitu hidup berkemunafikan. Masyarakat harus pintar dan selektif serta tidak terbuai dengan janji-janji caleg tersebut dalam periode kampanye ini.

Cermati juga terhadap para caleg yang melakukan tindakan apapun di luar etika politik dan pergaulan serta menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi ambisi pribadinya. Misalnya terhadap caleg yang terindikasi menggunakan pikiran yang tidak sehat untuk memojokkan kawan seperjuangan yang sedang dalam masalah, untuk menggapai impiannya menduduki jabatan tertentu di partai. Caleg yang terindikasi memanfaatkan fasilitas jabatannya untuk ”memeras” kepala dinas tertentu di komisi yang menjadi perhatiannya dan juga diduga memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan keluarganya di luar cara yang tidak wajar atau di luar prosedur yang sudah ditetapkan. Cermati caleg yang hanya membuat janji dan selalu ingkar jani, tidak hanya kepada masyarakat luas, tetapi juga kepada kawan-kawan seperjuangan partai. Cermati juga caleg yang seringkali memanfaatkan keberadaan dan kedudukannya di pengurus parpol atau sebagai anggota DPRD, mengambil dan mengelola dana bantuan untuk parpol dari APBD dengan tidak bertanggungjawab atau tanpa laporan yang jelas terhadap pengurus dan anggota parpol.
Yang tidak kalah pentingnya adalah soal dinasti keluarga dalam politik. Hal ini tidak dilarang dalam kegiatan politik dan tidak merupakan barang haram dalam politik. Akan tetapi jika semuanya dilakukan dalam proses yang tidak wajar, serba dipaksakan, tidak sesuai kapasitas dan hanya memanfaatkan jabatan yang diemban, akan merupakan proses yang tidak wajar dalam politik. Inilah praktik KKN yang nyata, praktik dimana dalam menempatkan caleg tersebut tidak dilihat kapasitas calegnya, praktik penempatan caleg yang serba di”karbit”, lalu dipaksakan dan tanpa melalui proses demokrasi yang terbuka sebagai caleg nomor urut rendah.
Masyarakat tidak akan menolak dan tidak akan tabu soal dinasti politik, akan tetapi dengan catatan bahwa caleg tersebut memang benar-benar berkapasitas, layak dan sudah siap untuk dimajukan. Jangan sempat terjadi, jika caleg tersebut tidak mampu untuk berpidato atau tidak mampu untuk menulis makalah tentang politik atau tidak mampu untuk membahas dan mendiskusikan soal permasalahan yang urgen di daerah. Mau dikemanakan nanti lembaga legislatif kita diarahkan jika diisi oleh caleg-caleg yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas? Janganlah lembaga legislatif hanya dijadikan tempat bagi orang-orang yang duduk sebagai anggota legislatif hanya untuk membagi-bagi proyek atau dijadikan tempat ”menekan” para kepala dinas sebagai ATM berjalan atau dijadikan tempat untuk melakukan tindakan balas dendam terhadap lawan politiknya terdahulu?
No way !!

Masyarakat pemilih harus tegas dan tidak kompromi terhadap caleg-caleg yang tidak berkualitas, selektif terhadap caleg yang tidak berintegritas, selektif terhadap para caleg yang nanti akan memanfaatkan lembaga legislatif sebagai sumber dana untuk menumpuk kekayaan pribadi dan menggunakan lembaga legislatif hanya untuk kepentingan pribadi, selektif terhadap para caleg yang nanti menempatkan posisinya sebagai anggota DPRD yang juga sebagai pialang proyek pemda. Jadikanlah Pemilu 2009 sebagai wacana dan moment yang paling tepat untuk menjadikan lembaga legislatif sebagai tempat untuk meningkatkan kualitas pembangunan daerah, sebagai tempat memanfaatkan seluruh kekayaan alam daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah dan menjadikan lembaga legislatif sebagai alat pengawas yang tangguh terhadap roda pemerintahan daerah.
Rakyat jangan salah kaprah dalam memahami dan menindaklanjuti Pemilu 2009. Seperti yang diungkapkan oleh Pdt. Nathan Setiabudi (Ketua Persekutuan Gereja2 di Indonesia), anggota Tim 45 Dewan Integritas Bangsa baru-baru ini, selama ini Pemilu yang sudah berjalan di Indonesia lebih menekankan kepada ”election” (pemilihan), bukan kepada ”selection” (seleksi) atau berdasarkan kualitas. Masyarakat pemilih dihimbau pada Pemilu 2009 ini juga, bukan pada Pemilu 2014, untuk melakukan seleksi terhadap caleg-caleg Pemilu 2009, yang selama menjadi anggota DPRD atau selama menjadi pejabat, menyia-nyiakan suara rakyat yang sudah diembannya pada Pemilu 2004. Atau melakukan seleksi terhadap para caleg pendatang baru yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas yang akan bertarung pada Pemilu 2009.

Masyarakat pemilih juga melakukan seleksi terhadap caleg-caleg yang selama ini menggunakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-nya sebagai wadah pemerasan terhadap pejabat-pejabat pemerintah di daerah, bukannya membela dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Para aktifis LSM yang akan bersuara lantang jika tidak diberi dana oleh pejabat, tapi akan diam seribu bahasa dan berprilaku seperti ”kerbau dicucuk hidungnya” jika sudah disantuni oleh pejabat-pejabat tertentu. Itu namanya aktifis LSM ”Penderes” atau LSM ”Tukang Ngogapi”.
Masyarakat pemilih harus melakukan seleksi terhadap para caleg-caleg Jawara yang selalu membela pejabat yang terindikasi terlibat KKN, dengan prinsip ”maju terus membela yang bayar”. Para aktifis Jawara yang tidak perduli apakah tindakannya merugikan atau menyinggung perasaan masyarakat luas.
Masyarakat pemilih melakukan seleksi juga terhadap caleg-caleg yang selama ini menjadi Saudagar atau Pemborong, tapi berprilaku selalu menyuap pejabat untuk mendapatkan pekerjaan dan mengurangi kualitas pekerjaan untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda, tidak perduli apakah pekerjaan tersebut sebenarnya diperuntukan dan dipergunakan bagi kepentingan masyarakat luas.
Masyarakat pemilih juga harus menyeleksi para caleg yang egois, yang selalu memakai topeng keagamaan untuk membenarkan tindakan egoisnya. Masyarakat pemilih juga harus menyeleksi caleg yang tidak solider kepada kawan-kawan seperjuangan partai, yang melakukan tindakan tidak terpuji terhadap kawan seperjuangan, di parpol manapun caleg tersebut berada.

Merasa ada kesempatan untuk mencaleg dan merasa direstui oleh pengurus parpol setelah ”menjilat” sana sini, maka tanpa malu-malu mereka mencaleg. Ingat, masyarakat pemilih sudah pintar dan akan dicerahkan oleh tulisan ini bahwa mereka akan selektif terhadap para caleg demikian, tidak perduli apakah para caleg tersebut bernaung di parpol besar atau parpol populer. Masyarakat sudah paham bahwa mereka bukan memilih parpol, akan tetapi calegnya, dan masyarakat pemilih sudah mempunyai informasi yang akurat tentang kelakuan para caleg yang berlindung di bawah ketiak parpol besar atau parpol populer.
Memang agak sibuk dan membuat pusing kepala untuk menyeleksi para caleg yang berprilaku negatif seperti diuraikan di atas. Akan tetapi kenapa masyarakat ”takut” dan enggan menggunakan pikiran dan waktu sebentar untuk menyeleksi para caleg, toh semuanya untuk kepentingan kita bersama. Untuk kepentingan yang lebih besar yaitu agar masyarakat kita secara langsung melalui pilihannya di TPS dapat menentukan dan menciptakan lembaga legislatif kita yang berkualitas. Pilih caleg yang berkualitas dan berintegritas, tidak perduli dari parpol manapun, tidak perduli berlatarbelakang apapun caleg tersebut.

Masyarakat harus melakukan tindakan tidak kompromi terhadap caleg-caleg yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas, terhadap caleg-caleg yang tidak bermoral. Seperti ucapan Ahmad Syafii Maarif, Guru Besar Sejarah Universitas Yogyakarta dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah, ”Politik harus dijalankan di atas landasan moral”. Politik yang dijalankan oleh caleg-caleg yang tidak bermoral dan tidak berintegritas akan melahirkan ”politikus serigala”, yang akan saling memakan dan melakukan hal-hal kegiatan politik di luar akal sehat serta melakukan segala cara/menghalalkan segala cara dengan tidak etis, untuk mewujudkan ambisi pribadinya. Pada akhirnya politik tidak akan pernah menjadi sarana mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum.
Saat ini fokus perhatian masyarakat pemilih diarahkan kepada calegnya bukan kepada parpolnya, kepada kualitas dan integritas calegnya. Masyarakat pemilih jangan terlalu dininabobokan dengan iklan-iklan media tentang keberadaan partai, jangan terlalu dihipnotis dengan banyaknya jumlah caleg suatu parpol dalam DCT atau dalam kertas suara nantinya ataupun terhipnotis dengan kekayaan sebuah parpol apalagi terhipnotis dan silau dengan parpol yang menggunakan nama besar pendiri parpolnya dalam iklan-iklan media elektronik, termasuk itu masyarakat jangan terhipnotis dengan sembako yang dibagikan parpol . Jadilah pemilih yang cerdas dan independen, dengan tetap fokus kepada calegnya, di parpol manapun caleg tersebut berada, karena caleg tersebut yang akan berjuang sepenuh hati dan sepenuh waktunya untuk memajukan pembangunan di daerah. Seperti yang selalu dihimbau oleh KPU, pilih dan tandailah calegnya, bukan tandai parpolnya. Parpol hanya kendaraan politik bagi caleg.

Sudah saat masyarakat pemilih melakukan seleksi terhadap caleg-calegnya, sudah saatnya masyarakat pemilih melakukan pilihan terhadap caleg-caleg yang berkualitas dan yang berintegritas. Sudah saatnya, rakyat yang menentukan dengan serius dan rakyat yang menentukan dengan seksama (bukan asal-asalan) terhadap siapa saja yang pantas dan patut duduk di lembaga legislatif. Sekali anda ceroboh melakukan pilihan terhadap caleg-caleg yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas, maka resikonya adalah anda akan mengalami kemiskinan berkepanjangan dalam 5 tahun mendatang akibat tindakan korupsi para caleg. Jangan biarkan negara diurus dan diatur oleh caleg-caleg yang tidak berkualitas dan melalukannya dalam pengaturan dengan sistim korupsi yang akut. Jangan biarkan para oknum eksekutif dan legislatif dalam melaksanakan tugasnya tidak didasarkan landasan moral, karena mereka akan makan anggaran negara dalam mengatur negara ini.
Sekali lagi, lakukan pilihan yang tepat kepada : siapa calegnya, apa program calegnya dan apa visi-misi calegnya. Jika calegnya berkualitas dan berintegritas serta kinerjanya sangat positif selama ini, maka masyarakat pemilih dihimbau untuk tidak ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan menandai caleg tersebut. Apapun parpol yang diusung oleh caleg berkualitas dan berintegritas tersebut, baik itu parpol baru ataupun parpol yang sudah lama. Jika diperlukan dukung dan loloskan caleg yang berkualitas dan berintegritas tersebut dengan suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP. Kualitas lembaga legislatif seperti DPRD Propinsi Sumatera Utara akan lebih maju, tentu lebih ditentukan oleh anggota-anggotanya, bukan oleh partainya. Oleh karena itu cermati calegnya dan pilihlah calegnya, di parpol manapun caleg tersebut berada. Tandailah Calegnya, bukan Parpolnya..

BEDAH CALEG DPRD SIMALUNGUN-PEMATANGSIANTAR

Waktu menuju Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tanggal 9 April 2009 yang akan datang, kurang dari 130 hari lagi. Sejumlah 895 orang Calon Anggota Legislatif (Caleg) Kabupaten Simalungun dan 794 orang Caleg Kota Pematangsiantar beserta 38 Partai Politik (Parpol) sudah dan akan melakukan kegiatan pendekatan kepada masyarakat pemilih untuk menyongsong Pemilu tersebut.
Beragam tanggapan dan sikap muncul dari masyarakat pemilih Simalungun-Pematangsiantar menyongsong Pemilu tersebut, antara lain dengan hadirnya sebanyak 38 Partai Politik yang ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bertambah 14 partai dibandingkan Pemilu 2004. Menurut informasi yang diperoleh dari jajak pendapat dan disiarkan di media internet, masih banyak masyarakat pemilih Indonesia yang belum mengetahui jadwal Pemilu. Sebanyak 61% lebih masyarakat pemilih tidak mengetahui jadwal Pemilu. Bagaimana kalau mereka ditanyai apa itu Pemilu? Mungkin persentasenya akan lebih banyak lagi yang tidak mengetahui…
Disinilah peran KPUD Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar, dengan komposisi pengurus yang baru dan penuh idealisme, termasuk juga 38 parpol beserta caleg-calegnya, lebih gencar lagi melakukan sosialisasi Pemilu kepada masyarakat pemilih, mengingat waktunya tidak banyak lagi tersedia. Masyarakat pemilih harus disadarkan bahwa Pemilu harus diselenggarakan di negara berasas demokrasi, setiap 5 tahun sekali untuk NKR Indonesia. Senang atau tidak senang, mau atau tidak mau, Pemilu harus berlangsung setiap 5 tahun sekali dengan segala konsekuensi biaya yang dikeluarkan.
Yang tidak kalah pentingnya adalah menyadarkan masyarakat pemilih bahwa Pemilu merupakan sarana pelaksanaan Kedaulatan Rakyat. Di tangan rakyatlah penentuan masa depan Negara dan Bangsa ini. Melakukan pilihan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah hak rakyat dan percayalah dengan makin aktif rakyat menentukan pilihan, maka masyarakat pemilih berhak menentukan dan mengawasi arah pembangunan yang diinginkan, bahkan me”recall” calegnya yang tidak berbuat apa-apa di lembaga legislatif .
Sosialisasi kepada masyarakat juga harus gencar dilakukan, terutama menyangkut pedoman teknis pemungutan dan penghitungan suara di TPS dalam Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Informasi terakhir dari KPU sesuai dengan Peraturan KPU No. 35/2008 Pasal 40, surat suara untuk DPR dan DPRD berukuran 54x84 cm. Surat suara yang dianggap sah adalah surat suara yang diberikan tanda centrang sekali (lurus atau tidak lurus). Surat suara juga dianggap sah jika surat suara dicoblos dengan alat pencentrang surat suara. Akan tetapi surat suara yang ditandai garis, ditandai tanda lingkaran atau ditandai silang serta surat suara yang dicentrang dan dicoblos sekaligus, dianggap sebagai surat suara yang tidak sah.

Partai Politik (Parpol) di Kabupaten Simalungun, tidak seluruhnya menampilkan caleg di Daerah Pemilihan (Dapem) menghadapi Pemilu 2009 yang akan datang. Dari data Daftar Calon Tetap (DCT) yang telah dikeluarkan, Dapem yang tidak ada daftar calegnya masing-masing : Dapem 2 sebanyak 2 parpol (PPI dan PSI), Dapem 3 sebanyak 2 parpol (PRN dan PP), Dapem 4 sebanyak 4 parpol (PNIM, PMB, PRN, PP) dan di Dapem 5 hanya PB yang tidak mencantumkan calegnya. Sementara untuk Kota Pematangsiantar, hanya 1 parpol (PPDI) yang tidak mengisi calegnya di Dapem 2, selebihnya 37 parpol menampilkan para calegnya di 3 dapem yang ada.
Kemudian jumlah caleg pada masing-masing dapem yang disodorkan oleh parpol bervariasi, dimana untuk parpol yang sudah mapan rata-rata menampilkan quota 120% dari jumlah kursi di dapemnya. Sementara partai yang belum siap, hanya menampilkan 1 - 3 orang caleg di dapemnya. Dengan banyaknya parpol dan terbatasnya kesediaan masyarakat pemilih untuk memajukan diri jadi caleg, tentu menyebabkan ada beberapa parpol yang susah merekrut caleg. Ada kesan parpol tersebut sekedar menampilkan nama caleg agar tidak terlihat kosong.
Ada sejumlah caleg yang sudah bertarung di Pemilu 2004, akan tetapi jumlahnya sangat sedikit (15,64% di Simalungun dan 12.47% di Pematangsiantar), dibandingkan muka-muka baru yang akan bertarung dalam Pemilu 2009. Walaupun jumlahnya sedikit, akan tetapi jumlah caleg yang kembali bertarung di Pemilu 2009 merupakan caleg potensial pengumpul suara banyak (21.14% dari 420.267 suara sah di Simalungun dan 30.15% dari 113.159 (?) suara sah di Pematangsiantar).

Hanya sedikit Pengurus Parpol Simalungun dan Pematangsiantar yang merekrut para caleg sesuai dengan kriteria kaderisasi, selebihnya parpol menentukan jumlah dan nomor urut rendah para caleg berdasarkan ketersediaan sumber dana pembiayaan sosialisasi dari caleg tersebut atau hasil kerjasama yang “berbau KKN” antara pengurus dengan caleg tersebut atau adanya tekanan dari pengurus parpol tingkat propinsi. Akibatnya ada informasi bahwa beberapa caleg dari parpol tertentu mengundurkan diri pada waktu akan dikeluarkan DCT, bahkan setelah DCT. Proses yang tidak terbuka dan demokratis dalam menjaring para caleg, juga yang menjadi salah satu penyebab terjadinya sejumlah caleg Pemilu 2004 lompat pagar ke parpol lain di Pemilu 2009. Pada DCT yang telah dikeluarkan oleh KPUD Pematangsiantar, dari 16 caleg yang merupakan anggota DPRD Pematangsiantar periode 2004-2009, ada 6 caleg sudah pindah ke parpol lain alias lompat pagar. Akan tetapi dari 22 caleg yang merupakan anggota DPRD Simalungun periode 2004-2009 dan kembali bertarung di Pemilu 2009, hanya 1 orang yang melakukan lompat pagar ke parpol lain.
Para caleg yang memperoleh lebih dari 428 suara pada Pemilu 2004, ada sejumlah caleg yang pindah parpol di Kabupaten Simalungun. Di Pematangsiantar, yang berhasil mengumpulkan antara 380 – 2.719 suara di Pemilu 2004 dan kembali bertarung di Pemilu 2009, ada sejumlah 12 caleg lainnya yang pindah parpol. Keseluruhan caleg yang pindah parpol merupakan caleg dengan nomor urut 1 di masing-masing parpol barunya. Kecuali ada caleg yang pindah parpol, akan tetapi nomor urutnya berubah dari nomor 1 menjadi nomor 10 di parpol yang baru (parpol dengan sistim suara terbanyak, yang ditetapkan langsung oleh pengurus pusatnya).
Sejumlah caleg yang sekarang merupakan anggota DPRD Simalungun juga ada yang tercatat di Dapem baru, berbeda dengan Dapem pada waktu Pemilu 2004. Tercatat ada 6 orang yang pindah daerah pemilihan. Untuk Pematangsiantar, ada 5 caleg yang pindah daerah pemilihan.
Alasan pindah karena berganti tempat domisili, tidak menjadi masalah bagi masyarakat pemilih. Akan tetapi para caleg yang pindah dapem karena tidak berbuat apa-apa terhadap konstituennya selama menjadi anggota DPRD di dapem asal, tentu akan menjadi bahan pertimbangan dan pertanyaan untuk diseleksi bagi masyarakat pemilih. Di daerah pemilihan manapun caleg tersebut pindah, yang jelas caleg tersebut akan menjadi anggota DPRD Simalungun/Pematangsiantar dan akan berbuat yang sama terhadap konstituen barunya di dapem baru, tidak melakukan apa-apa terhadap masyarakat pemilihnya jika nanti terpilih.
Fakta ini akan menentukan sikap dan pilihan masyarakat pemilih nantinya dalam melakukan pilihan kepada parpol. Bagaimanapun masyarakat pemilih akan memilih partainya dulu sebelum mencari dan menandai nomor dan nama caleg yang didukungnya. Partai yang siap dengan jumlah yang memadai dalam menampilkan caleg pada dapemnya, tentu akan menjadi tolak ukur soal keberadaan dan kegiatannya. Partai yang mencalonkan kadernya sebagai caleg dibandingkan dengan partai yang merekrut calegnya berdasarkan uang yang dimiliki caleg atau partai yang merkerut caleg berdasarkan praktek KKN, tentu masyarakat pemilih akan mencermatinya dan menjadikan pertimbangan dalam melakukan pilihan nantinya.
Akan tetapi masyarakat pemilih jangan terlalu dininabobokan dengan keberadaan partai dan jumlah caleg suatu parpol ataupun kekayaan sebuah parpol, karena seperti himbauan KPU, pilih dan tandailah calegnya, bukan tandai parpolnya. Parpol hanya kendaraan politik bagi caleg. Parpol didirikan di Ibukota Negara RI dan secara nasional parpol tersebut berkewajiban menyiarkan keberadaannya dan program-programnya ke seluruh Nusantara. Oleh karena itu masyarakat pemilih tidak usah terlalu terkesima dengan iklan-iklan parpol di media, karena parpol tersebut tidak mengerti kondisi daerah. Yang paling mengerti kondisi daerah adalah masyarakat pemilih, caleg-caleg dan pengurus-pengurus parpol yang berada di daerah yang tahu persis kondisi, situasi dan kebutuhan pembangunan di daerah.

Kemudian tanggapan dan sikap masyarakat pemilih yang kurang bergairah juga berhubungan dengan evaluasi kinerja DPRD periode 2004-2009, yang sepertinya tidak menunjukkan dampak yang positif bagi pembangunan Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Tingkah laku para anggota DPRD selama ini yang negatif, arogansi, tidak menjaga sikap serta tidak berbuat apa-apa di lembaga DPRD serta ketidakkonsistenan sikap anggota DPRD, menjadikan tolak ukur yang akan dicermati masyarakat pemilih.
Data dari DCT Kota Pematangsiantar, para caleg yang mengikuti Pemilu 2004, dan bertarung kembali pada Pemilu 2009 yad, ada 4 caleg yang tidak mencantumkan marganya lagi. Ada 6 caleg yang bertambah gelarnya, baik itu karena memperoleh gelar pendidikan ataupun gelar karena berkesempatan melakukan kewajiban ibadah keagamaan setelah menjadi anggota DPRD. Ada satu caleg yang menambah imbuhan marga, 4 caleg yang tidak mencantumkan kembali gelar pendidikan S1-nya (ijazahnya bermasalah atau enggan melakukan leges seperti yang dipersyaratkan KPUD?), dan yang paling menarik adalah adanya 1 caleg yang mencantumkan gelar yang berbeda pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
Di dalam DCT Kabupaten Simalungun, para caleg yang bertarung di Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, ada 17 orang bertambah gelarnya, 6 orang gelarnya hilang atau tidak dicantumkan, 2 orang tidak mencantumkan lagi marganya, dan masing-masing 1 orang menambah marganya dan berganti nama (penambahan satu huruf dalam namanya).
Kecuali untuk penambahan gelar bidang pendidikan, apapun alasan caleg tersebut mengganti atau berbeda namanya dalam DCT Pemilu 2009 dibandingkan Pemilu 2004, akan menjadi bahan seleksi masyarakat pemilih nantinya untuk menentukan pilihan. Ketidak-konsisten-an dalam mencantumkan nama lengkap berarti menunjukkan bahwa tidak ada sikap yang teguh terhadap jati diri, yang pada akhirnya menunjukkan karakter dan kinerja caleg yang negatif dalam bekerja nantinya sebagai anggota DPRD.

Kriteria-kriteria yang diuraikan di atas yaitu eksistensi dan kinerja parpol, caleg pindah parpol, caleg pindah daerah pemilihan, caleg yang tidak mau mencantumkan marganya, caleg yang memanfaatkan lembaga legislatif untuk menambah gelar, caleg yang tidak lagi mencantumkan gelar pendidikannya, caleg yang merubah-rubah gelar pendidikannya, caleg yang mengganti namanya; kesemuanya akan menjadi bahan seleksi dan bahan telahaan masyarakat pemilih.
Masyarakat pemilih harus cermati para caleg yang sekarang merupakan anggota DPRD, bagaimana kinerja mereka selama periode 2004-2009.. Hanya sedikit anggota DPRD yang mampu dan sering bersuara di lembaga DPRD, hanya sedikit anggota DPRD yang sering dengan gigih menyuarakan aspirasi masyarakat dan hanya sedikit anggota DPRD yang mampu berdialog dan mampu menganalisa permasalahan dengan aparat Pemerintah Daerah. Sebagian besar anggota DPRD hanya melakoni D5 : Datang, Duduk, Diam, Dengar, Duit..
Akan tetapi patut juga diperhatikan oleh masyarakat pemilih terhadap sebagian anggota DPRD yang sering muncul di media cetak. Cermati apa esensi yang mereka kemukakan, bermanfaat tidak bagi kepentingan masyarakat. Kebanyakan mereka melakukannya hanya untuk tingkatkan rating populernya, hanya untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah daerah atau ujung-ujungnya menambah pundi-pundinya dari berita tersebut.
Cermati juga tingkah laku kemunafikan anggota DPRD yang terindikasi ”rajin” ke tempat-tempat maksiat, tetapi tanpa ragu-ragu menunjukkan kepada masyarakat bahwa dia pengurus suatu lembaga keagamaan. Masyarakat pemilih harus tegas dan tidak kenal kompromi kepada caleg-caleg yang demikian karena jika nanti dipilih kembali, mereka akan melakukan hal yang sama yaitu hidup berkemunafikan. Masyarakat harus pintar dan selektif serta tidak terbuai dengan janji-janji caleg tersebut dalam periode kampanye ini.
Sekali lagi, lakukan pilihan yang tepat kepada : siapa calegnya, apa program calegnya dan apa visi-misi calegnya. Jika calegnya berkualitas dan berintegritas serta kinerjanya sangat positif selama ini, maka masyarakat pemilih dihimbau untuk tidak ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan menandai caleg tersebut. Apapun parpol yang diusung oleh caleg tersebut, baik itu parpol baru ataupun parpol yang sudah lama. Kualitas lembaga legislatif seperti DPRD Simalungun dan DPRD Pematangsiantar akan lebih maju, tentu lebih ditentukan oleh anggota-anggotanya, bukan oleh partainya. Oleh karena itu cermati calegnya dan pilihlah calegnya, di parpol manapun caleg tersebut berada. Tandailah Calegnya, bukan Parpolnya..

Bravo Masyarakat Pemilih Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar !!!

Jumat, 28 November 2008

BURSA CALEG SIMALUNGUN-PEMATANGSIANTAR

Pemilu
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebanyakan orang sudah hafal kalau ditanya apa dan bagaimana Pemilu, tapi mereka sering tidak mengetahui apa arti hakiki tentang Pemilu. Di dalamnya terkandung inti soal pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana proses ini harus dijalankan di dalam negara dengan asas demokrasi, berbeda dengan negara berdasarkan monarkhi atau kerajaan.
Untuk saat ini rakyat Simalungun-Pematangsiantar sudah bersiap-siap akan memutuskan siapa saja wakil yang mereka utus melalui 38 parpol untuk berada di lembaga legislatif yaitu lembaga DPR, DPD, dan DPRD Simalungun / Pematangsiantar serta DPRD Propinsi Sumatera Utara pada Pemilu tanggal 9 April 2009 yad. Setelah itu rakyat juga akan memutuskan siapa Presiden dan Wakil Presiden RI dalam Pilpres tahun 2009 dan pada tahun 2010 rakyat akan menentukan juga siapa yang akan menjadi Walikota Pematangsiantar dan Bupati Simalungun.
Oleh karena itu masyarakat dihimbau agar aktif mensukseskan Pemilu tahun 2009, karena kehadiran di Tempat Pemungutan Suara (TPS) akan mengembalikan hak kedaulatan rakyat ke tangan masyarakat sendiri, bukan ke tangan para Saudagar, bukan ke tangan para Jawara ataupun bukan ke tangan para Politisi “busuk”.
Sangat dihimbau juga agar masyarakat aktif mengikuti proses tahapan Pemilu 2009 yaitu pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; pendaftaran Peserta Pemilu; penetapan Peserta Pemilu; penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; masa kampanye; masa tenang; pemungutan dan penghitungan suara; penetapan hasil Pemilu; dan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Yang terpenting adalah masyarakat lebih aktif menyeleksi kira-kira 1.689 calon anggota legislatif untuk 75 kursi DPRD Simalungun (45) dan Pematangsiantar (30), menyeleksi terhadap 160 calon anggota legislatif untuk 8 kursi DPRD Sumatera Utara di Daerah Pemilihan 9 Sumatera Utara, menyeleksi terhadap puluhan calon anggota legislatif dari Daerah Pemilihan Sumut 3 untuk 12 kursi DPR dan menyeleksi puluhan calon anggota legislatif untuk 4 kursi DPD bagi Sumatera Utara. Setelah diseleksi maka dilakukan pilihan kepada para caleg yang menurut masyarakat akan dapat meningkatkan pembangunan daerah Simalungun-Pematangsiantar, bukan kepada caleg yang selama menjadi anggota DPR/DPRD berprilaku untuk mengisi saku mereka sendiri.

Calon Anggota Legislatif (Caleg)
Fokus rubrik ini adalah menyoroti calon anggota legislatif yang akan bertarung untuk bisa dipilih, ditetapkan dan dilantik sebagai anggota DPRD Simalungun, DPRD Pematangsiantar dan DPRD Propinsi Sumatera Utara. Caleg yang memperebutkan 30 kursi DPRD Pematangsiantar ada sebanyak 794 orang, dengan demikian hanya sekitar 3,78 persen peluang setiap caleg untuk lolos sebagai anggota DPRD Pematangsiantar. Sebanyak 99 orang (12,47%) telah ikut Pemilu 2004 dan sebanyak 16 orang (2,01%) telah berhasil di Pemilu 2004 sebagai anggota DPRD Pematangsiantar. Dari ke-16 orang tersebut, pada Pemilu 2004 hanya 1 orang yang berhasil mengumpukan 1.496 suara dan ada 9 orang yang berhasil mengumpulkan antara 620-950 suara. Sebanyak 5 orang memperoleh antara 399-596 suara dan 1 orang memperoleh 179 suara (PAW). Akan tetapi patut dicermati oleh caleg yang baru bertarung di Pemilu 2009 bahwa ada 2 orang yang memperoleh 1.732 dan 2.719 suara dan 5 orang yang memperoleh antara 677-960 suara, ada 19 orang yang memperoleh antara 322-543 suara, dan sebanyak 57 orang perolehan kurang dari 266 suara pada Pemilu 2004.
Sementara untuk 45 kursi DPRD Simalungun, peluang setiap dari 895 caleg yaitu 5,03 persen untuk terpilih sebagai anggota DPRD Simalungun. Sebanyak 140 orang kembali bertarung pada Pemilu 2009 (15,64%), dimana sebanyak 22 orang (2,45%) telah berhasil lolos dalam Pemilu 2004. Dari ke-22 orang tersebut, 2 orang telah berhasil meraih 2.175 suara dan 2.197 suara, 7 orang memperoleh antara 1.452-1.980 suara, dan 9 orang memperoleh antara 1.005-1.282 suara. Tiga orang perolehan suara antara 783-974 dan sisanya sebanyak 3 orang hanya memperoleh antara 428-677 suara. Akan tetapi mereka yang tidak lolos dalam Pemilu 2004 ada 4 orang yang memperoleh antara 2.197-2.967 suara. Sementara 11 orang memperoleh antara 1008-1954 suara, 29 orang memperoleh antara 524-995 suara dan sisanya (63 orang) memperoleh kurang dari 456 suara.


Sebanyak 239 caleg telah bertarung di Pemilu 2004 (14.15 % dari total 1.689 caleg Kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar) dan kembali bertarung di Pemilu 2009. Mereka ada yang tetap bertahan di Parpol yang sama dan ada juga yang lompat pagar karena tidak dicalonkan lagi oleh Parpol tempat mereka bernanung selama ini. Mengapa mereka tetap ngotot untuk mencalonkan diri lagi, terutama kepada anggota DPRD yang selama ini hanya ”diam” saja atau selama ini membuat lembaga legislatif tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya? Inilah PR bagi masyarakat untuk melakukan seleksi. Dukungan diperlukan bagi mereka yang mencalonkan kembali sebagai anggota DPRD dimana selama ini benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat. Akan tetapi masyarakat harus cermati terhadap mereka yang mencalonkan kembali pada Pemilu 2009, akan tetapi ”track record”nya tidak jelas di lembaga DPRD.

Peluang setiap 160 caleg untuk anggota DPRD Propinsi Sumatera Utara hanya 5,0%, dimana diperebutkan 8 kursi dari daerah ini. Daftar Calon Tetap menunjukkan ada anggota DPRD Simalungun dan DPRD Pematangsiantar periode 2004-2009 dan mantan KDH mencoba peruntungannya untuk duduk sebagai anggota DPRD Propinsi Sumatera Utara pada Pemilu 2009. Yang lebih menarik adalah banyaknya caleg untuk anggota DPRD Propinsi Sumatera Utara yang direkrut secara instant, hanya untuk kepentingan caleg nomor urut rendah dan bukan kader lama partai dan mungkin juga mereka tidak mengerti asas partai yang diusungnya.

Caleg untuk DPRD Sumatera Utara dari Daerah Pemilihan Simalungun-Pematangsiantar, sebanyak 40 orang berdomisili di Pematangsiantar dan 30 orang berdomisili di Kabupaten Simalungun. Akan tetapi lebih banyak caleg tersebut berdomisili di Medan, sebanyak 81 orang (50.62%) dan lebih mengherankan ada caleg berdomisili di Deli Serdang (7), Labuhan Batu (1) dan Tobasa (1). Bagaimana logikanya mereka yang berdomisili di luar Pematangsiantar dan Simalungun dapat menyalurkan aspirasi dari daerah pemilihan tersebut, sementara bertempat tinggal di daerah lain?

UU No 10/2008 Pasal 5 telah mengakomidir sistim pemilihan proporsional terbuka untuk DPR dan DPRD, sementara sistim distrik berwakil banyak untuk DPD. Pemilu 2009 telah mengalami kemajuan dalam hal keterwakilan dengan diakomodirnya pencapaian 30% suara dari Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) bagi caleg2. Artinya caleg yang mencapai angka tersebut dengan parpol yang diusungnya mencapai BPP, maka caleg tersebut langsung ditetapkan oleh KPU/KPUD sebagai anggota DPR/ DPRD.

Inilah kesempatan bagi masyarakat melakukan seleksi dan pilihan terhadap para caleg. Seperti saran KPU, jangan tandai parpolnya, tapi tandai calegnya. Jika masyarakat menandai parpolnya, maka suara tersebut akan diarahkan oleh parpol kepada caleg nomor urut kecil. Artinya suara yang diberikan masyarakat tidak berdampak langsung kepada caleg pilihannya, terutama bagi caleg bernomor urut besar.
Masyarakat patut memperhatikan dan menyikapi dengan positif terhadap parpol tertentu yang telah menggunakan sistim suara terbanyak dalam Pemilu 2004 dan tetap menggunakan sistim suara terbanyak dalam Pemilu 2009 yad. Belakangan banyak parpol peserta Pemilu 2009 telah mengikuti jejak tersebut dan telah mengumumkan langsung dari Pengurus Pusatnya untuk menggunakan sistim suara terbanyak bagi caleg2nya dalam Pemilu 2009.
Oleh karena itu masyarakat harus mengamati dengan jeli terhadap parpol yang tetap bertahan dengan menggunakan sistim nomor urut, dimana para caleg nomor urut besar bekerja untuk caleg nomor urut kecil. Sistim ini sangat tidak mendidik masyarakat dan sudah tidak popular lagi dalam Pemilu 2009. Apapun programnya, apapun sembako/ ”money politics” yang dibagikan kepada masyarakat, akan tetapi jika memakai sistim nomor urut, masyarakat patut menyikapi parpol dan caleg tersebut. Sistim nomor urut adalah metoda lama dimana parpol secara sengaja membohongi masyarakat dengan mencantumkan nama para caleg nomor urut rendah, yang sebenarnya tidak mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Pengurus Parpol tingkat Propinsi dan Pusat secara arogan dan tidak mau mendengar aspirasi dari Pengurus Kota/Kabupaten, tetap menggunakan sistim nomor urut, yang berarti dengan sengaja Parpol tersebut membodohi masyarakat dimana masyarakat diarahkan untuk memilih caleg nomor urut besar, padahal suara tersebut nantinya akan dikumpulkan dan diarahkan kepada caleg nomor urut kecil (walaupun tidak mendapat dukungan luas).
Masyarakat sudah banyak berharap akan adanya perubahan terhadap UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, melalui proses Amandemen Khusus, terutama menyangkut sistim suara terbanyak. Masyarakat berharap banyak bahwa pada Pemilu 2009 ini akan diberlakukan sistim berwakil banyak (suara terbanyak) untuk pemilihan anggota DPR/ DPRD, sama seperti pemilihan anggota DPD.

Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP)
Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP DPRD, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Rata-rata suara sah pada Pemilu 2004 di Kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar hanya 75% dari suara terdaftar. Dengan banyaknya parpol peserta Pemilu 2009 dan dimulainya cara menandai dalam melakukan pilihan di TPS (walaupun cara mencoblos masih diakui KPU), masyarakat akan terkendala dengan sistim tersebut. Diperkirakan suara sah akan menurun dibandingkan Pemilu 2004 dan akan menyebabkan BPP untuk masing-masing Dapem akan menurun juga jumlahnya.
Oleh karena itu parpol dan para caleg harus jeli dan memperhitungkan hal ini dengan baik. Seyogianya para caleg aktif melakukan pengecekan terhadap konstituennya, apakah sudah terdaftar sebagai Pemilih pada Pemilu 2009. Jika belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap maka didaftarkan kepada PPS sebagai Pemilih Tambahan. Jika sudah terdaftar, dihimbau untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009.

Seleksi Caleg
Seperti yang disarankan sebelumnya, masyarakat harus ikut aktif mengamati dan menyeleksi para caleg. Siapapun caleg untuk DPR, DPD, DPRD tersebut, masyarakat harusnya lebih teliti dan lebih selektif dalam memilih caleg-caleg yang ada. Semua parpol mempunyai visi misi yang baik bagi kemajuan negeri ini. Yang membedakan hanya azasnya dan menurut harian nasional, 38 parpol peserta Pemilu 2009 terbagi menjadi partai agama, partai nasionalis dan partai nasional agamais.
Seyogianya masyarakat akan makin lebih bijaksana menyikapi Pemilu 2009. Berperan aktif dalam mengamati dan mengikuti tahapan-tahapan Pemilu, aktif menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009 nanti, dan yang terpenting cermat memilih caleg dan parpolnya.
Masyarakat seyogyanya hanya melihat parpol sebagai kendaraan politik bagi para caleg. Masyarakat dihimbau agar fokus kepada siapa calegnya dan apa misi dan visinya serta apa yang telah caleg perbuat selama ini di lingkungannya. Jika calegnya berkualitas dan berwawasan serta berkarakter baik tetapi berada pada parpol yang baru, sangat disarankan masyarakat mengamatinya. Jangan ”silau” dengan parpol sembako, apalagi parpol dengan cara diam-diam melakukan ”money politic” (masyarakat dapat melaporkan hal ini dan akan terkena pidana bagi yang melakukan ”money politic").

Masyarakat juga harus jeli dengan sepak terjang para caleg yang selama ini sebagai anggota DPRD. Diantara mereka yang mencalonkan diri kembali dalam Pemilu 2009, baik untuk DPRD Kabupaten/Kota maupun DPRD Propinsi, banyak yang tidak pernah berbuat sama sekali di lembaga legislatif tersebut. Mereka hanya melakoni D5 : datang, duduk, diam, dengar, duit. Mereka tidak pernah menyuarakan aspirasi masyarakat dan yang lebih parah lagi, jalan ke rumah anggota DPRD tersebut tidak pernah diperbaiki selama dia duduk sebagai anggota DPRD.
Masyarakat juga harus menyimak para caleg Pemilu 2009 yang merupakan anggota DPRD saat ini, yang terlalu banyak melakukan hal-hal yang negatif, misalnya menghalalkan segala cara dengan memanfaatkan lembaga DPRD untuk kepentingan pribadi. Sikapi para caleg yang selama menjadi anggota DPRD berperan sebagai agen borongan di Pemda, dan melakukan tindakan yang tidak terpuji sebagai anggota DPRD. Seleksi juga mantan pejabat daerah yang terindikasi telah melakukan tindakan praktik KKN selama menjabat. Yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan seleksi juga terhadap para Saudagar/Pemborong yang selama ini terindikasi berpraktik merugikan masyarakat, melakukan seleksi terhadap para Jawara yang selama ini selalu membela pejabat yang terindikasi KKN, dan politisi ”busuk” yang masih tetap masih berusaha memainkan perannya walaupun sudah banyak masyarakat menolaknya.

Tidak ada kompromi soal ini karena mereka akan melakukan hal yang sama pada periode 2009-2014 jika nanti masyarakat kembali memilih caleg tersebut dalam Pemilu 2009. Masyarakat harus berperan aktif mendorong para caleg yang berkualitas dan berintegritas untuk maju. Jangan terpukau dengan janji-janji caleg dan paket ”sembako” yang dibagikan. Para caleg yang membagikan sembako akan berhitung nantinya setelah duduk sebagai anggota DPRD dan satu-satunya cara mengganti biaya yang sudah dikeluarkan adalah melakukan korupsi pada anggaran yang bersumber dari Negara. Para caleg yang mempunyai hobi membagikan sembako secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk melakukan korupsi.
Masyarakat juga harus tidak kompromi dan menolak mentah-mentah bagi para caleg yang instan, dimana mereka tidak mengerti apa-apa tentang Pemilu, DPRD dan visi misi mereka (numpang nampang doank).

Sudah saatnya masyarakat mau merubah sikap dalam Pemilu. Jangan timbulkan sikap meminta-minta sesuatu kepada caleg, tetapi tantanglah berdebat para caleg dengan visi misi mereka masing-masing. Masyarakat harus berani merubah sikap agar berani menggalang suara dengan militan dan sukarela, bagi caleg yang berkualitas dan berintegritas.
Peran aktif masyarakat sangat diharapkan terhadap meningkatnya kualitas Pemilu 2009 yang lebih baik dan dalam menentukan caleg yang berkualitas dan berintegritas untuk duduk sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD. Percayalah, dengan membela dan mendukung tanpa kompromi terhadap kualitas dan integritas caleg, akan tercipta nantinya lembaga legislatif kita yang lebih berkualitas, yang pada akhirnya dapat menjadi mitra yang sepadan dan menjadi lembaga pengontrol yang berkualitas bagi Pemerintah.


Siapa yang menyangka bahwa Barrack Hussein Obama (BHO) dapat terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44 dan Presiden AS pertama yang berkulit hitam pada Pemilu AS tanggal 4 Nopember 2008 yang lalu. BHO berasal dari masyarakat kulit hitam yang hanya 20% dari total penduduk AS, memiliki nama yang banyak dimusuhi oleh masyarakat AS, tidak memiliki banyak dana pribadi (akan tetapi berhasil menggalang dana kampanye terbesar dari masyarakat), akan tetapi dengan sukses menang mutlak dan terpilih menjadi Presiden AS.
Presiden dari sebuah negara adidaya, negara beragam komunitas dan negara tempat berkumpulnya para orang-orang pintar dari seluruh dunia. Terpilihnya BHO merupakan tindakan yang tidak kenal kompromi dan tindakan tegas masyarakat AS terhadap kandidat yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas. Tidak ada tempat bagi kandidat yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas serta tidak dapat memberikan harapan kepada masyarakat.
Indonesia memang bukan AS, dan bukan pula bandingannya. Akan tetapi kita harus banyak belajar dan banyak menyerap kualitas demokrasi dari negara AS. Penulis pernah lama bermukim di AS dan secara langsung melihat dan mengikuti proses demokrasi pada waktu Pemilihan Presiden tahun 1988 (Bill Clinton mengalahkan George Bush Sr.) dan pada tahun 1992 (Bill Clinton mengalahkan Bob Dole).
Tidak perduli hitam atau putih atau kuning atau sawo matang, tidak peduli berasal dari keluarga seperti apa (Ayah BHO yang kontroversial), jika memang kandidat/calegnya berkualitas dan berintegritas serta dapat memberikan harapan bagi pembangunan daerah, masyarakat harus mendukung, mengangkat, memperjuangkan dan memilih kandidat/caleg tersebut.

Bravo Hak Pilih Masyarakat